THIS STORY IS MINE!
DO NO COPY!
PLEASE RESPECT!
When You Were Hopeless
Just a story about
Choi Minho who was..
Hopeless..
~ *** ~
“Aku berangkat!” seru pemuda itu,
pemuda jangkung dengan rambut hitam lurus yang dikenal bernama Minho. Choi
Minho lengkapnya.
Pemuda itu segera meninggalkan rumah
tanpa menghiraukan seruan ibunya yang menyuruhnya sarapan atau sang ayah yang
menawarinya untuk berangkat bersama.
“Mungkin dia ada praktikum,” ucap
sang ayah, Choi Siwon, sambil membalik halaman New York Times.
“Padahal masih semester dua tetapi
dia sudah begitu sibuk,” timpal sang ibu, Jung Eunwook, sambil mengganti channel televisi yang menayangkan acara infotainment.
“Dulu kau senang anakmu masuk
kedokteran, sekarang kau mengeluh karena dia terlalu sibuk,” komentar Siwon.
“Sikkeuro!”
tandas Eunwook, tanda dia tidak ingin berdebat lebih lanjut lagi.
Sementara itu, Choi Minho, anak
semata wayang Siwon dan Eunwook yang baru duduk di semester dua kedokteran
Universitas Sungkyunkwan, sedang dalam perjalanannya menuju stasiun bawah tanah.
Tidak seperti orang-orang yang berjalan terburu-buru mengejar waktu, pemuda itu
berjalan dengan santai, hmm, bukan lebih tepatnya lesu. Sepanjang langkahnya
entah sudah berapa puluh kali pemuda itu menghembuskan nafas panjang dan berat.
Seakan-akan ada beban yang begitu menghimpit benak pemuda itu sampai dia tidak
bisa bernafas lega.
Bukan hanya itu saja, bahkan dia
tidak berkutik saat kereta yang dinaikinya sudah sampai di Suwon, tempat
kampusnya berada. Pemuda itu tetap duduk di kursinya dengan headphone menyumpal di telinganya. Kedua
mata besarnya menatap hampa pada kerumunan orang yang berlalu lalang di
stasiun. Sampai tidak menyadari ada dua orang yang tengah mengamatinya. Seorang
pemuda jangkung dan seorang gadis yang baru saja masuk ke dalam kereta.
“Itu Minho bukan?” bisik gadis itu.
“Hmm,” pemuda itu mengiyakan.
“Minho?”
“Choi Minho?”
Kesadaran Minho tertarik lagi ke
realita saat ada dua suara yang memanggilnya. Mata besarnya mengerjap beberapa
kali untuk mengumpulkan fokusnya hingga dia mendapati dua orang sudah duduk di
kursi kosong yang ada di hadapannya. Kedua alis pemuda Choi itu bertaut
mendapati dua orang yang dikenalnya.
“Jonghyun Hyung? Hyunjin Noona?”
Kali ini kedua mata pemuda itu
terbelalak mendapati sosok Lee Jonghyun dan Cho Hyunjin yang duduk di
hadapannya.
“Minho-ya, bukankan kau akan ke kampus? Mengapa tidak turun?” tanya
Hyunjin.
“Memang sudah sampai di Suwon? Ahh,
aku lupa. Sudah kelewatan,” jawab Minho.
“Dari wajahmu terlihat kau bukan
orang yang lupa turun. Tetapi orang yang sengaja tidak turun,” timpal Jonghyun,
seringaian tersungging di bibir calon sarjana hukum itu.
Decakan keluar dari bibir Minho.
Sembari melepas headphone yang
menyumpal telinganya, mata besar Minho menatap Hyunjin beberapa detik sebelum
beralih menatap Jonghyun. Seringaian pun turut tersungging di wajah Minho
sebagai balasan untuk Jonghyun.
“Mahasiswa hukum memang beda,” ucap
pemuda Choi itu. Singkat, ambigu namun bisa ditangkap oleh dua orang yang ada
di hadapannya.
“YA! Kau- Kau membolos?” Cho
Hyunjin, calon arsitek itu membulatkan matanya.
Minho menggelengkan kepalanya, “Aniya. Aku sudah terlambat, Noona,”
“YA!
Itu sama saja membolos. Kau kan punya time
limit 15 menit untuk terlambat,” sentak Haejin.
Kali tawa Minho berderai mendengar sentakan
Haejin. Pemuda Choi itu tertawa walau dia juga tidak mengerti apa yang dia
tertawakan. Apakah ada hal yang lucu dari perkataan Hyunjin? Jonghyun dan
Hyunjin saling berpandangan. Tidak mengerti dengan apa yang terjadi dengan
Minho. Berbagai spekulasi pun mereka sampaikan melalui percakapan tanpa kata.
Apakah Minho yang ada di hadapannya
adalah Minho yang mereka kenal?
Apakah Minho masih waras?
Apakah otak Minho sudah bergeser?
Namun semakin lama dua orang itu
menyadari bahwa tawa Minho itu bukan tawa karena hal yang lucu. Tawa itu hanya
sebuah tawa hambar yang berderai. Tawa yang berkesan seperti menertawakan diri
sendiri daripada menertawakan orang lain.
“Minho-ya, jungshin charyeo
(sadar)!” Jonghyun menepuk pipi pemuda itu untuk mengembalikan kewarasan pemuda
Choi itu.
Tepukan, hmm, lebih tepatnya
tamparan ringan dari Jonghyun sukses membuat tawa hambar Minho berhenti. Pemuda
itu hanya mengulas senyum sembari menghapus air mata yang meleleh di sudut
matanya.
“Waeyo?
Ada masalah?” tanya Hyunjin.
“Kalian akan kemana?” Minho
mengalihkan pertanyaan Hyunjin.
“YA!
Jangan mengalihkan!” tegas Hyunjin.
Lagi-lagi Minho mengulas senyum yang
membuat Jonghyun dan Hyunjin ingin memanggil 119. Memanggil ambulans dan
meminta mereka untuk membawa Minho ke rumah sakit jiwa karena tingkah aneh
Minho. Tetapi mereka mengurungkan niatnya. Mereka tidak mau ambil resiko diamuk
Siwon dan Eunwook karena memasukkan anak semata wayang mereka ke rumah sakit
jiwa.
“Pigonhae
(Aku lelah),” lirih Minho. Kepala pemuda itu tertunduk dan hembusan nafas berat
keluar dari paru-parunya.
“Pigonhae?
Apa yang membuatmu lelah?” tanya Hyunjin lembut. Bahkan tangannya bergerak
untuk mengangkat dagu Minho. Meminta pemuda Choi itu menunjukkan tatapan
matanya. Setidaknya dengan tatapan mata itu bisa bercerita tanpa harus
berkata-kata.
“YA!
Cho Hyunjin! Mwoya? Apa kau tidak
lihat ada kekasihmu disini?!” sentak Jonghyun yang tidak terima jika Hyunjin
menyentuh Minho.
“YA!
Lee Jonghyun, dia sepupuku. Aku masih mempunyai hubungan darah dengannya. Sikkeuro!” balas Hyunjin dengan sekali
sentakan yang membuat seorang Lee Jonghyun bungkam.
“Hanya lelah dengan semuanya,” keluh
Minho. Kali ini pemuda itu menyandarkan kepalanya pada jendela sembari menatap
setiap objek yang dilaluinya.
“Geurae?”
tanya Hyunjin.
“Hmm. Aku lelah. Setiap hari seperti
ini-“ pemuda itu memejamkan matanya sejenak sembari melanjutkan ceritanya,”-kuliah,
tugas, praktikum, laporan, ujian blok, terus berlanjut seperti itu sampai aku
pikir itu anti klimaks. Aku tidak bisa seperti ini terus, Noona, Hyung,” Minho
mengakhiri ceritanya dengan desahan frustasi.
Hyunjin dan Jonghyun saling
berpandangan. Percakapan tanpa kata terjalin untuk mengungkapkan berbagai
pemikiran mereka tentang masalah yang dihadapi Minho.
“Lalu? Apa yang kau inginkan?” tanya
Hyunjin.
Kedua kelopak mata Minho yang
tertutup terbuka. Menampilkan dua manik mata yang sarat dengan frustasi dan
putus asa, “Rehat,”
“Rehat? Drop out?” kali ini
Jonghyun bersuara.
Minho mengangkat bahunya. Pemuda itu
kembali bersandar pada jendela. Baginya jendela adalah sandaran terbaiknya saat
ini. Ya, karena tidak mungkin dia bersandar pada Hyunjin kecuali jika ingin
terjadi duel antara dirinya yang pemegang sabuk hitam taekwondo dan Jonghyun
yang pemegang sabuk hitam judo.
“YA!
Kau masih semester dua, belum ada apa-apanya. Kau belum merasakan bagaimana
tekanan mahasiswa tingkat akhir sepertiku,” ucap Jonghyun.
“Bagaimana dengan orang tuamu?
Mereka sudah tahu masalahmu?” tanya Hyunjin.
Entah sudah berapa kali Minho
menghela nafas dalam sepanjang perjalanan. Kali ini pemuda itu menghela nafas
dalam mengingat kedua orang tuanya. Daddy-nya
dan Mommy-nya yang berharap begitu
besar padanya agar dia sukses karena dia satu-satunya harapan mereka.
“Ajik.
Aku takut kalau mereka tahu-“ Minho menghela nafas dalam sebelum melanjutkan
ucapannya. “-mereka akan kecewa,” lirihnya.
Hyunjin dan Jonghyun kembali saling
berpandangan. Tidak ada pancaran cinta di mata keduanya. Hanya ada berbagai
macam kalimat yang terungkapkan melalui tatapan mata. Mengungkapkan apa yang
harus mereka lakukan menghadapi Minho yang seperti itu.
“Minho-ya-“ Minho terkesiap saat Hyunjin menggenggam tangannya. “-Noona tahu. Noona dan Hyung pernah
mengalaminya-“
“Lalu? Apa yang harus aku lakukan?
Aku jenuh, lelah, bosan. Jinjja!
Kalau pun aku sekarang kuliah aku hanya akan melamun tanpa mendapat apa pun-“
“Tetapi kau tercatat masuk walau
pikiranmu entah kemana,” Jonghyun menyela ucapan Minho.
“Apalah arti masuk kalau tidak
mendapat ilmu. Sama saja aku menghamburkan uang Daddy dengan sia-sia. Lebih baik aku tidak masuk tetapi belajar
sendiri saat aku mood,” sahut Minho
yang memiliki pemikiran yang berbeda dengan Jonghyun.
“YA!
Itu sama saja bohong. Kau sudah membolos, kau berbohong pada orang tuamu. Kau
mendapat dosa ganda. Kau- Aargghh!” Jonghyun tidak bisa melanjutkan kalimatnya
untuk melawan pendapat Minho karena Hyunjin memukul kepalanya. Hal yang sama
pun terjadi dengan Minho.
“Aaarrgghh! Noona, jangan memukul kepalaku sembarangan. Bagaimana kalau otakku
bergeser?!” protes Minho.
“Siapa yang menyuruh kalian berdebat
sendiri? Dan kau-“ Hyunjin menunjuk Minho. “-dengarkan apa yang aku katakan
baik-baik!” tegas Hyunjin.
Minho menganggukkan kepalanya patuh.
Begitu pula dengan Jonghyun yang memilih diam daripada kepalanya menjadi tempat
mendarat tangan Hyunjin.
“Noona
dan Hyung pernah mengalaminya. Benar.
Kuliah itu semakin lama semakin seperti aktivitas anti klimaks. Bukannya merasa
senang karena kita fokus pada hal yang kita tekuni, tetapi kita malah semakin
bosan,” ucap Hyunjin.
“Geurae-“
Jonghyun menimpali, -“itu karena kau sudah bosan terlalu lama belajar. Sudah
hampir 14 tahun bukan kau makan bangku sekolah?”
Minho hanya menganggukkan kepalanya
sebagai respon atas petuah yang diberikan Jonghyun dan Hyunjin.
“Saat kau lelah ingatlah orang-orang
yang ada di belakangmu. Daddy dan Mommy yang berharap padamu,” lanjut
Jonghyun.
“Minho-ya, benar kata Jonghyun. Ingat Daddy
yang sering terluka dalam menjalankan misi. Ingat Mommy yang sering begadang menyelesaikan naskah. Semua itu untukmu.
Karena mereka ingin memberikan yang terbaik untukmu,” Hyunjin bersuara.
“Minho-ya, kau anak tunggal. Mereka menggantungkan semuanya padamu. Mereka
ingin kau tidak mengecewakan mereka. Arraseo?”
Jonghyun menepuk bahu Minho. Berusaha memberikan kekuatan pada sosok Minho yang
sudah seperti adik baginya.
“Jonghyun Hyung, Hyunjin Noona,”
ucap Minho.
Kepalanya yang sejak tadi tertunduk
terangkat. Menampilkan wajah tampan dengan berbagai emosi tersirat disana.
Tetapi ada satu hal yang menjadi fokus bagi Jonghyun dan Hyunjin. Ada awan yang
bergelayut pada dua mata besar milik Choi Minho itu. Awan yang bergelayut dan
siap jatuh hanya dengan sedikit sentuhan. Dan sentuhan itu bukanlah sentuhan
nyata. Melainkan sentuhan abstrak melalui serentetan kalimat yang meluncur dari
bibir Jonghyun dan Hyunjin.
“Minho-ya,” Jonghyun dan Hyunjin terbelalak. Tidak percaya. Bahkan mereka
perlu menabrakkan kepala mereka pada dinding untuk memastikan apa yang mereka
lihat bukanlah ilusi.
“YA!
Choi Minho! Wae- Waeyo? Mengapa menangis?” tanya Jonghyun panik. Dia tidak ingin
dicap sebagai pemuda tidak bertanggung jawab yang membuat anak orang menangis.
Minho menggelengkan kepalanya.
Pemuda Choi itu menundukkan kepalanya kembali dengan tetesan air mata yang
menetes di lantai kereta api. Awan yang bergelayut dimatanya kini telah goyah
dan meneteskan air yang ditampungnya melalui air mata.
“Sebentar saja,” bisik Hyunjin pada
Jonghyun.
Gadis Cho itu mengulurkan tangannya
menarik tubuh Minho ke dalam pelukannya. Membiarkan Minho bersandar padanya.
Membiarkan Minho mengungkapkan segala perasaannya melalui air mata di bahunya.
“Arraseo.
Kalian itu saudara sepupu. Lakukan saja. Anggap saja aku hanya bayangan,” ucap
Jonghyun pasrah jika Hyunjin memeluk Minho dan menjadikannya seperti obat
nyamuk.
“Ingat
Daddy yang sering terluka dalam menjalankan
misi,”
“Ingat
Mommy yang sering begadang menyelesaikan naskah,”
“Mereka
menggantungkan semuanya padamu,”
Kalimat demi kalimat yang diucapkan
Hyunjin dan Jonghyun terus berputar di dalam kepalanya. Putaran dari
kalimat-kalimat itu di dalam pikirannya juga memutar berbagai perjuangan orang
tuanya untuknya. Bagamana ayahnya yang sering terluka dalam menyelesaikan misi
NIS atau bagaimana ibunya yang rela tidak tidur untuk menyelesaikan naskah.
Bagaimana ayah dan ibunya yang selalu mempersiapkan apa yang dia butuhkan.
Memenuhi apa yang dia inginkan. Tidak peduli jika apa yang dia inginkan itu
membutuhkan banyak pengorbanan.
“Geumanhae!
Kau modus sekali!” sergah Jonghyun yang sudah tidak tahan melihat Minho
berlama-lama dalam pelukan Hyunjin.
Minho menurut dengan melepaskan pelukan
Hyunjin. Dengan wajah memerah dan mata sembab, pemuda Choi itu kembali ke
posisi semula. Tangannya dengan kasar menghapus air matanya walau dia masih
sesenggukan.
“Gomawo,
Noona. Mianhae, Hyung,” lirih
Minho, serak.
“Sudah merasa lebih baik?” tanya Hyunjin
yang hanya dijawab anggukan kepala Minho.
“Ahh, kau tahu mengapa kau merasa
lelah, bosan dan anti klimaks. Itu semua karena kau tidak ikhlas menjalaninya,”
timpal Jonghyun.
“Aku-“
“Kau belum bisa sepenuhnya
mengikhlaskan dirimu untuk menjalani aktivitas ini. Bukalah pikiran dan juga
hatimu. Jalani dengan ikhlas. Ingat bagaimana Daddy dan Mommy berjuang
agar kau bisa menjadi dokter,” sela Jonghyun.
“Geurae.
Benar apa kata Jonghyun. Kuncinya adalah ikhlas. Pendidikan dokter itu mahal.
Selain itu dokter itu tidak pernah berhenti belajar. Jadi jangan bosan dan
lelah, Minho-ya. Ahh, Jonghyun Oppa, keretanya sudah sampai,” seru
Hyunjin saat kereta yang mereka naiki sampai di stasiun Kangwon-do.
“Kaja!
Kita turun! Aku sudah tidak sabar!”
Jonghyun segera menarik tangan
Hyunjin untuk keluar dari kereta secepatnya. Tidak peduli pada Minho yang
berteriak menanyakan apa yang akan mereka lakukan.
“YA!
Hyung! Noona! Aku laporkan pada Samchon
kalian dating di Kangwon-do,” seru Minho.
“Aku juga laporkan pada orang tuamu
kau membolos!” balas Jonghyun.
“Heol!”
Minho berdecak.
END
2015-04-26 11:36 AM
Ini apa?? Ini hanya unek-unek saya setiap merasa lelah dengan dunia perkuliahan yang terkadang membuat saya jenuh. Semangaaaatttt semuanya!!!! Di saat jenuh ingatlah orang tua yang berharap sama kita. Huhuhuhu.
0 komentar:
Posting Komentar